Karya Tulis tentang Papua Merdeka Raih Penghargaan di California
https://kabarkampung10.blogspot.com/2016/07/karya-tulis-tentang-papua-merdeka-raih.html
PASADENA, (KK) - Internasionalisasi isu perjuangan
rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk opsi merdeka,
tampaknya semakin kuat. Walaupun pemerintah RI berusaha membendung hal ini,
upaya itu kelihatannya belum berhasil.
Internasionalisasi
isu Papua tak hanya menjalar lewat panggung diplomasi internasional seperti
yang dikhawatirkan, tetapi juga lewat panggung akademis. Dan bukan tak mungkin
gaungnya lebih luas, karena sasarannya adalah anak-anak muda berwawasan global
yang memiliki idealisme tinggi.
Salah satu
contoh adalah apa yang dilakukan oleh Tatiana Overly, siswa Pasadena College
City (PCC) di California. Ia terpilih menjadi salah satu siswa berprestasi yang
diminta untuk menampilkan karya tulis dalam mata pelajaran Antropologi Budaya
pada KonferensiTahunan ke-17 yang diselenggarkan oleh Honor Transfer Council of
California (HTTC).
Atas saran
gurunya, Dr Derek Milne, Overly memilih topik tentang perjuangan rakyat Papua
dalam memperjuangkan penentuan nasib sendiri. Karya tulis tersebut ia
presentasikan dalam bentuk poster, salah satu kategori yang dilombakan
pada konferensi itu. Hasilnya, Overly memenangi penghargaan peringkat ketiga.
Dia menyajikan karyanya di konferensi itu dan terlibat dalam diskusi dengan
puluhan siswa lainnya di Ballroom Pacific, University of Irvine.
California, pada Sabtu, 26 Maret lalu.
"Banyak orang tidak tahu
tentang yang terjadi (di Papua) karena pemerintah telah melarang liputan
jurnalis, mereka melarang antropolog, nyaris menutupnya dari dunia luar
untuk dapat menyebarkan berita tentang apa yang terjadi di sana,"
kata Overly, sebagaimana diberitakan oleh Pasadena City College Courier.
"Kita bisa
melihat sebuah kebudayaan menuju kematian dengan apa yang terjadi di
sana," kata Overly.
Overly
adalah satu dari siswa terpilih dari seluruh negara bagian
California yang ikut mengajukan diri untuk turut dalam konferensi ini.
Dari sekolahnya sendiri, PCC, ada 44 aplikasi yang diterima panitia. Mereka
yang mengajukan diri diminta mempresentasikan hasil penelitian mereka,
baik secara oral maupun dalam bentuk poster.
HTTC sendiri
adalah sebuah organisasi nirlaba dan merupakan forum bagi direktur dan konselor
program-program unggulan untuk berbagi pengalaman dan kesuksesan dalam
menangani siswa-siswa bertalenta.
Dalam konferensi ini siswa-siswa
dari community college -- setingkat Sekolah Menengah Atas --
diberi kesempatan untuk mempresentasikan penelitian mereka, meliputi apa yang
mereka telah pelajari di kelas, termasuk mata pelajaran Antropologi, Sejarah,
Kimia, Ekonomi, Teknik dan banyak lagi.
Sebelum
konferensi, mereka diharuskan memasukkan ringkasan karya tulis sepanjang
250 kata. Mereka yang terpilih diundang untuk mengikuti pelatihan yang dipimpin
oleh Koordinator Program Honors Transfer PCC, Dr. Derek Milne, untuk
memperbaiki lagi makalah mereka.
Penghargaan
tertinggi dalam konferensi kali ini jatuh ke Roseanne Rivera, yang memenangi
Juan Lara Memorial Scolarship. Beasiswa ini diberikan kepada siswa yang tidak
mampu, yang berhasil mengatasi berbagai kesulitan hidup.
Penghargaan kedua diberikan
kepada Hannah Stewart, President dari Honors Club, yang menerima Exemplary Achievement
Scholarship. Ia diganjar apresiasi itu bukan saja karena
penelitiannya tetapi juga atas kepemimpinannya dalam menghidupkan organisasi.
“Konferensi
ini merupakan hari terbaik dalam hidup saya," kata Milne. "Saya
sangat bangga mendengar para siswa dan selalu menyenangkan bertemu dengan orang
tua serta anggota keluarga mereka. Siswa PCC sangat pintar dan mengahumkan.
Mereka hanya perlu kesempatan mengembangkan kemampuan riset mereka," kata
Milne.
Pro-Kontra Internasionalisasi
Isu Papua
Diangkatnya
isu Papua oleh seorang generasi muda AS patut mendapat perhatian pemerintah
Indonesia karena ini menunjukkan isu ini mempunyai daya tarik tersendiri.
Citra rakyat Papua sebagai rakyat yang tertindas tampaknya telah tersebar
melintas waktu dan benua.
Pro-kontra
internasionalisasi isu Papua sendiri sudah cukup lama. Ada sementara kalangan
menganggap internasionalisasi itu tidak akan laku di dunia internasional. Salah
satu yang beranggapan demikian adalah Toni Sudibyo, peneliti di Lembaga Studi
Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.
Menurut dia,
internasionalisasi isu Papua di Parlemen Eropa dan Uni Eropa tidak bergaung
karena dinilai berpotensi merusak Comprehensive and Partnership Cooperation
Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa.
Ia
menambahkan PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur kerjasama dan
kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan
Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih
melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas termasuk bidang politik,
keamanan, counter terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan,
sosial budaya serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama
RI-UE.
Menurut dia, PCA RI-UE juga
mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota maupun semua lembaga UE
seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas
wilayah NKRI. "Dukungan penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI
oleh Eropa adalah suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum
untuk tidak mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun
juga," tulis dia dalam sebuah kolom berjudul Internasionalisasi Masalah
Papua Tidak akan Laku yang
disiarkan oleh Detik.
Sedangkan di
pihak lain, cukup banyak yang berpendapat internasionalisasi isu Papua tidak bisa
dibendung. Oleh karena itu, Jakarta harus sungguh-sungguh untuk mengadakan
dialog dengan elemen-elemen masyarakat Papua agar internasionalisasi isu ini
tidak menjadi liar.
Salah
seorang yang berpendapat demikian adalah Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas.
"Internasionalisasi masalah
Papua sudah ada sejak dahulu bahkan persoalaan Papua bukan persoalaan nasional
tetapi persoalaan internasional," kata Cahyo, kepadasatuharapan.com belum lama ini.
Menurut dia,
masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal
dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Status Papua dilaksankan sesuai
dengan perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda. Hal itu sudah
menunjukkan adanya dimensi internasional masalah Papua.
Lalu
peristiwa Trikora, yang kemudian memicu konflik Indonesia dan Belanda yang
dimediasi oleh Amerika Serikat, juga menunjukkan dimensi internasional
masalah Papua.
"Ketika
beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) melarikan diri ke luar negeri, ke
Belanda, Papua Nugini dan Australia, itu sudah mulai menciptakan benih-benih
proses internasionalisasi mengenai Papua yang kemudian bermuara pada
pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International
Parliementarians for West Papua) di Inggris pada tahun 2008. Kemudian KTT
Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 2015, itu juga merupakan bagian dari
internasionalisasi masalah Papua," kata Cahyo.
Sumber: SATUHARAPAN.COM
Hebat. Selamat berjuang
BalasHapus